Senin, 30 Mei 2011

Liputan Utama

Anggota NII Diperiksan,
Teroris Identik Dengan Islam

Polisi masih memeriksa enam anggota gerakan Negara Islam Indonesia (NII) yang ditangkap di Ungaran, Jawa Tengah, Senin kemarin dan seorang diantaranya merupakan gubernur NII Jateng-Yogyakarta.

SM, TD, NB, MA, dan SP sekarang menjalani pemeriksaan di Polda Jawa Tengah untuk pengusutan lebih lanjut mengenai tindakan makar yang mereka lakukan.

Menurut Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Kombes Pol Boy Rafli Amar di Jakarta Selasa, enam anggota NII itu sudah dalam target polisi sejak lama. Mereka pernah disidik di Polda Jawa Barat, dan sekarang mereka menjalankan aktivitas gerakan bawah tanah.

Diantara enam anggota NII yang ditangkap, seorang diantaranya berinisial TD menjabat sebagai gubernur NII Jawa Tengah-Yogyakarta. Seorang diantaranya juga pernah diburu aparat Polda Jabar dalam pengungkapan kasus makar tahun 2008 lalu.

Selain mengamankan tersangka, polisi juga menyita dokumen dan buku-buku yang menun-jang kegiatan mereka.

Polri sejak tahun 2008 sudah menangani sebelas perkara terkait gerakan NII hingga sampai ke pengadilan dan semua dita-ngani Polda Jabar dibantu Mabes Polri.

Sebelas perkara yang ditangani tersebut melibatkan 17 tersangka yakni Deni Ahmad Syarifudin Al Holid, Agus Gunawan Al Syarif, Mugito Al Idris, Oban Bin Martodji dan Adiat Maulana Bin Jamil Al Iwan Aziz.

Serta Onip Al Sodikin Bin Said Rizal Nurdin, Uden Abdullah Bin Mukhtar Istandar Al Bunyamin Mushab, Dede Suparman Al Al Nurdin Bin Dayat, Riezal Nurdin, Asep Sutarji Bin Utom Al Haris dan Suganda Al Hayatun Bin Sarjo.

Selanjutnya adalah Juhana Ramdan Sathori Bin Satigi, Dedy Mulyadin Bin Mansyur, Maman Suherman Al Burhan Bin Suhardi, Iping Sarifudin Al Yantami, Ugas Yulianto Al Faujan Muslim dan Hajun Muliadi.

Teroris Diidentikkan Dengan Islam
Ketua Badan Amil Zakat Nasional Prof. Dr. KH Didin Hafidhuddin mengimbau alim ulama untuk memberikan pemahaman Islam yang komprehensif kepada masyarakat menyusul maraknya kasus NII dan terorisme yang dikaitkan dengan Islam.

“Ini adalah tugas dari alim ulama untuk membangun Islam lebih baik dengan memberikan pemahaman Islam yang lebih komfrehensif,” kata Didin saat ditemui dalam acara peresmian Pesantren Hilal Bogor, di Peru-mahan Budi Agung, Kota Bogor, Jabar, Minggu.

Didin mengatakan, ada dua faktor yang menyebabkan kasus teroris dan Negara Islam Indonesia (NII) diidentikan dengan Islam.

Faktor pertama adalah faktor internal, di mana umat muslim sendiri memiliki pemahaman yang pendek, tidak utuh terhadap ajaran agama.

“Dalam Islam memang ada ayat-ayat yang mengajak untuk berperang tapi mereka memahami ayat tersebut secara parsial sehingga salah mengartikan dan mengaplikasikannya,” kata Guru Besar IPB itu.

Selanjutnya, kata Didin, faktor ke dua adalah faktor eksternal yang berasal dari luar Islam.

Didin melihat ada unsur rekayasa atau kesengajaan untuk membuat citra Islam buruk.

“Sebenarnya NII itu sudah lama, tapi kenapa tidak ditemukan. Ini sebuah keanehan. Kok intelijen kita rela membiarkan orang-orang atas nama Islam melakukan pemboman, melakukan hal-hal macam-macam, kemudian dibiarkan, ini kan aneh,” katanya.

Didin menyebutkan, dirinya juga heran kenapa pemerintah melakukan pembiaran NII yang sudah telalu lama sehingga berkembang secara liar.

Dua faktor tersebutlah yang membuat Islam berada dalam posisi saat ini, satu sisi umat kurang komprehensif memahami agama, dan satu sisi faktor eksternal yang sengaja merusak citra Islam.

“Semua itu tidak benar, umat muslim tidak mungkin melakukan cuci otak, itu tidak ada. Orang-orang Islam yang baik itu tidak mungkin akan melakukan hal tersebut. Saya mengharapkan ini harus sesegera mungkin dituntaskan,” kata Didin.

Menurut Didin, umat Islam yang terlibat dalam peristiwa tersebut hanya dimanfaatkan saja mengataskan nama Islam.

“Islam tidak mungkin melakukan pengeboman dalam mesjid saat orang sedang sholat, apapun itu susah dipahami orang Islam melakukan hal itu di masjid,” katanya.

Didin menyebutkan, kata jihad jangan dikonotasikan dengan kekerasan. Hendaknya jika umat muslim ingin berjihad harus memperbaiki dahulu akhlaknya, kata dia.

“Bagaimana mau jihad, sementara akhlak belum diperbaiki, yang harus dibangun pertama itu adalah akhlahk, karakter itu yang harus dilakukan besama-sama. memperbaiki diri, tidak mencari musuh. Dan jihad tidak harus berhadapan dengan musuh. kita membangun kekuatan diri kita itu juga jihad,” kata Didin.

Didin menyebutkan ada tiga hal yang harus dilakukan umat muslim agar terlepas dari situasi tersebut.

Tiga hal tersebut yakni, bagaimana melakukan ekonomi yang kuat, sehingga perekonomia dikendalikan orang Islam.

“Kebanyakan orang-orang kaya memiliki `power`, punya kekuatan. Dengan begitu mereka bisa mengendalikan dunia,” katanya.

Yang kedua yakni bagaimana membiasakan umat Islam menjadi umat pemberi jangan menjadi umat peminta. Jika umat Islam menjadi umat pemberi maka akan punya harga diri dan kekuatan.

“Yang ketiga adalah membiasakan sholat berjemaah, jika ini dijadikan kebutuhan saya yakin umat Islam terbangun dengan baik,” kata Didin

Sekarang Radikalisme Lebih Terbuka

Benarkah radikalisme lebih cepat berkembang pada era demokrasi 
dibandingkan zaman otoriter Orde Baru?

Jakarta
Menurut Senior Advisor dari International Crisis Group, Sidney Jones, radikalisme lebih terbuka pada masa sekarang ketimbang pada zaman Orde Baru.
“Tetapi pada zaman Orde Baru justru bibit-bibit radikalisme tertanam pada mereka yang melawan represif Soeharto,” kata Sidney Jones, Senin dalam kuliah umum bertajuk “Radikalisme Agama dan Demokrasi” di Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah, Jakarta, Senin.
Ia mencontohkan radikalisme pada masa Orde Baru terjadi setelah peristiwa kerusuhan Tanjung Priok 1984. Para pelaku radikalisme juga pergi ke Afghanistan untuk ikut berperang melawan Uni Soviet.  Sekaligus mereka  juga dipersiapkan untuk melawan represif Soeharto,” kata Jones.
Lebih lanjut dia menjelaskan,  bahwa radikalisme adalah kegiatan yang bertujuan merubah sistem sosial politik secara drastis.

Jones  mengutarakan bahwa radikalisme terbagi dua yaitu yang bersifat violent (kekerasan) dan nonviolent (tanpa kekerasan).

“Dari sisi demokrasi harusnya lebih gampang bagi peme-rintah untuk menumpas yang violent karena jelas melakukan kekerasan,” kata Jones.

Terkait dengan banyaknya peredaran buku-buku yang isinya mengajarkan tentang radikalisme, Jones berpendapat bahwa pelarangan buku adalah hal yang berlawanan dengan demokrasi.
“Tidak ada masalah,  justru hal itu bisa membuat kita tahu pemikiran mereka. Satu-satunya yang harus dilarang adalah buku yang menunjukkan cara merakit bom,” katanya.

Dia membandingkan sosok radikal Eropa, Geert wilders yang sedang disidang karena penyebaran kebencian terhadap agama.  Di Amerika Serikat, pemahaman keberagamaaannya lebih luas sehingga sosok radikal tak mendapat banyak tempat di masyarakat.

“Di AS ada Terry Jones yang radikal,  tapi  dia bukan keluarga saya,” kelakar Jones.
Jones mengingatkan,  kaum radikal pada umumnya melihat dunia dalam perspektif hitam-putih dan memandang merekalah yang punya kebenaran  mutlak.

Pelajaran Wajib Pancasila
Komisi VIII dan Komisi X DPR RI menyepati Pancasila akan tetap diajarkan di berbagai tingkatan pendidikan di Indonesia mulai tahun pelajaran 2011/2012 ini.

“Sesuai keputusan komisi VIII dan 10 maka pada tahun ajaran ini akan ada pelajaran wajib Pancasila,” kata anggota Komisi VIII DPR RI asal Madura, MH Said Abdullah dalam siaran persnya kepada wartawan, Sabtu malam.

Menurut Said, pelajaran pancasila adalah pelajaran wajib di semua jenjang tingkat pendidikan. Tidak hanya dari tingkat SD, namun tingkat pendidikan paling rendah sekalipun, yakni pendidikan anak usia dini (PAUD) juga harus menerima pelajaran Pancasila.

“Termasuk jenjang pendidikan perguruan tinggi,” katanya menambahkan.
Anggota fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini menyatakan, jika bangsa ini lengah dan mengabaikan Pancasila sebagai ideologi bangsa, maka hal itu bisa mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) nantinya.

Maraknya sikap radikalisme yang terjadi di mana-mana akhir-akhir ini, salah satunya karena kurangnya sikap nasionalisme terhadap bangsa ini.

Termasuk, lanjut dia, adanya kelompok sempalan seperti NII. “Oleh karena itu mari kita kembali pada jati diri kita dengan satu ideologi kebangsaan yaitu pancasila,” ucap Said Abdullah.
Sebab menurut Said dengan kembali menghayati ideologi bangsa setelah sebelumnya sempat “terlupakan” karena hiruk-pikuk reformasi itu sama dengan menemukan kembali jalan Indonesia sejahtera.
Di bagian lain pria asal Pulau Garam ini menyatakan perlunya sikap pemerintah untuk lebih berorientasi lebih memperjuangkan kepentingan masyarakat.
Sebab ia menilai, dalam kurun waktu 13 tahun terakhir ini sejak reformasi, seakan bangsa ini hanya “berdiri di kubangan” karena pemerintah sampai masih berkutat pada persoalan dirinya.
Tugas pokok pemerintah adalah menciptakan rasa aman dan kedamaian serta kesejahteraan bagi masyrakat.
“Tapi justru yg terjadi adalah APBN 72 persen untuk biaya aparatur, baru sisanya untuk rakyat,” katanya menambahkan.

Oknum Polisi Lakukan Tindak Kekerasan Terhadap Wartawan

Surabaya
Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Jawa Timur Irjen Pol Dr Untung S Rajab meminta maaf terkait pemukulan yang dilakukan oknum polisi kepada empat wartawan saat meliput aktivis Falun Dafa di Surabaya (7/5).

“Atas nama institusi, saya minta maaf. Kami berjanji akan mengusut tuntas insiden pemukulan terhadap wartawan dalam waktu satu bulan sejak kejadian,” katanya ketika menerima sekitar 100 wartawan di Ruang Utama Mapolda Jatim, Senin.

Seratus wartawan dari berbagai organisasi kewartawanan dan media massa itu melakukan unjuk rasa ke Mapolda Jatim dengan membawa poster yang mengecam kekerasan yang dilakukan polisi.
Empat wartawan yang mengalami pemukulan adalah Lukman Hakim (Tran7), Septa Rudianto (Radio Elshinta), Joko Hermanto (TVRI), dan Oscar (News Tang Dinasty Television atau NDTV).

“Kita mengecam pelaku kekerasan terhadap jurnalis, apalagi pelaku adalah aparat hukum yang semestinya menjunjung tinggi dan menjadi pelindung jurnalis,” kata seorang jurnalis televisi, Hari.

Dalam aksinya, para wartawan membawa delapan tuntutan, di antaranya permintaan maaf oleh Kapolda Jatim, tidak menghentikan proses hukum, menghentikan kekerasan pada wartawan, dan memberikan sanksi tegas kepada pelaku kekerasan tersebut.

Setelah orasi dan aksi di halaman Mapolda Jatim, para wartawan akhirnya diterima Kapolda Jatim tanpa perwakilan.

Dalam pertemuan itu, Kapolda Jatim didampingi Kapolrestabes Surabaya Kombes Pol Coki Manurung dan Kabid Humas Polda Jatim Kombes Pol Rachmat Mulyana.

“Propam Polda Jatim sudah memeriksa seorang polisi pelaku kekerasan, tapi statusnya masih terperiksa,” kata Kapolda Jatim.

Ditanya kemungkinan kekerasan itu dilakukan oknum polisi atas perintah atasan, ia menga-takan hal itu masih di dalami dalam investigasi.

“Kalau ada perintah ya ditindak sesuai dengan tingkat kesalahannya. Bisa saja dia akan kena teguran,” katanya.

Jawaban Kapolda Jatim tentang “teguran” itu sempat diprotes para wartawan, namun Kapolda Jatim menegaskan bahwa teguran untuk seorang perwira itu sudah cukup berat.
“Teguran buat seorang perwira itu sudah berat, karena dia saja tidak boleh sekolah, nonjob, dan sebagainya,” katanya.n 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar