Senin, 30 Mei 2011

Editorial

Edisi Juni
Sepertinya kurang tepat, jika saat ini dikatakan semakin marak penghianat amanat para pejuang bangsa, namun kenyataannya demikian. Mulai dari penegak hukum yang mbalelo, pejabat korupsi, keadilan semakin pincang, hingga kepada timbulnya redikalisme atas ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintahan negeri ini.
Radikalisme, kesewenang-wenangan, dan pelecehan atas hukum yang berlaku, merupakan dampak dari adanya istilah mayoritas. Hal ini nampak semakin marak dan berkembang di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Usaha pergeseran Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 semakin nampak, hal tersebut terbukti dengan diberlakukannya aturan suatu agama di beberapa daerah.
Pengelabuan terhadap rakyat semakin menjadi. Di tengah perseteruan mengungkap para koruptor kelas kakap, seringkali diselimuti oleh isu baru yang lebih dapat mengalihkan perhatian masyarakat luas. Mulai dari isu bom, teroris, tindak kriminal hingga kepada keberadaan Negara Islam Indonesia (NII).
Hal ini, semata-mata hanya untuk mengalihkan pandangan  masyarakat terhadap para pelaku penegak hukum yang seolah semakin mandul. Lebih-lebih bila dihadapkan dengan kasus-kasus yang melibatkan atau mengarah kepada pejabat tinggi.
Sejarah telah mencatat, bahwa keberadaan NII sudah sejak lama ada dan berkembang di wilayah NKRI. Dengan berganti nama dan istilah, kelompok yang sama bersiteguh untuk menegakkan bedirinya suatu negara atau menjadikan NKRI sebagai negara yang mengatasnamakan agama. Sekalipun, sebenarnya rencana demikian tidak sesuai dengan ajaran agamanya, karena tidak ada Tuhan yang menganjurkan suatu pemberontakkan, selama setiap warga negara dapat hidup merdeka di wilayahnya.
Kenapa NII dinaikkan kembali ke permukaan ? Karena issu tersebut dianggap dapat mengalihkan perhatian masyarakat, terutama umat dari luar agama Islam. Dengan issu tersebut masyarakat dianggap akan menjadi gelisah, sehingga dapat menimbulkan issu baru yang mungkin dapat menopang strategi pengalihan yang sedang berlangsung.
Memang kita tidak dapat menunjuka secara pasti, siapa peran uatama atas strategi pengalihan tersebut, namun orang banyak telah mengakui bahwa hal itu merupakan sebuah rekayasa untuk mengaburkan kasus-kasus yang tengah berlanjut.
Saat ini, masyarakat sudah semakin peka terhadap hal-hal yang sifatnya spontan (mendadak), karena akhir-akhir ini selalu bertepatan dengan penanganan kasus-kasus besar yang  disinyalir melibatkan pajabat pemerintahan.
Jika kita mau menoleh kebelakang, dan mengkaji kasus demi kasus besar, selalu saja disusul dengan isu-isu mendadak. Paling tidak, mengembangkan isu yang sudah mulai surut. Peristiwa semacam ini mulai sering terjadi sejak bergulirnya era reformasi, sehingga menimbulkan kesan kebablasan, memang begitulah adanya.
Dalam hal menjaga stabilitas nasional, terutama bidang keamanan dan ketertiban masyarakat, tidak hanya tanggung jawab aparat penegak hukum, namun merupakan tanggung jawab seluruh komponen anak bangsa. Untuk itu, hendaknya  semua pihak senantiasa  membina dan menjaga rasa persatuan dan kesatuan bangsa dengan berpedoman kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. (Arw)

Edisi Mei
Bersama kita bisa, itulah motto yang senantiasa disenandungkan oleh Presiden SBY, dalam menghimpun kekuatan politiknya. Kalimat itu memang selalu berarti dalam segala hal, baik positif maupun negatif, tergantung kearah mana yang akan dihimpun. Sudah barang tentu, rakyat berharap kalimat tersebut dipergunakan untuk membangun ekonomi rakyat, guna mendatangkan kesejahteraan bagi segenap bangsa indonesia.
Namun, dalam perjalanan selama ini motto " bersama kita bisa" lebih mendominasi kepada hal-hal negatif yang merugikan negara dan rakyat. Sejak bergulirnya era reformasi, hampir di setiap daerah terdapat pelaku tindak kejahatan korupsi yang dilakukan para anggota dewan secara bersama-sama, sehingga terbit istilah "korupsi berjamaah" Atau makan uang rakyat berbarengan.
Era reformasi telah mengorbitkan sebuah lembaga yang disebut KPK, khusus mengawasi roda pemerintahan dan melakukan investigasi terhadap perputaran dan pemberdayaan uang negara. Akibatnya, semakin banyak pelaku dan tindak kejahatan korupsi yang terjaring, masuk ke hotel prodeo. Namun penghuni hotel prodeo ini seolah tak malu dengan perbuatannya yang telah merugikan negara dengan memakan uang rakyat.
Justru mereka dapat menikmati istirahat dengan baik dengan segala fasilitas yang memadai dalam hotel prodeo. Mengapa demikian? karena dalam hal ini apapun tetap berlaku motto "bersama kita bisa".
Ironisnya lagi, berkat kebersamaan, telah tercipta seorang tokoh yang tergolong besar, karena kasusnya hingga menerbitkan Infres, dialah Gayus. Seorang pegawai pajak biasa, namun berkat kebersamaan sehingga mampu  melakukan tindak kejahatan korupsi pajak hingga ratusan miliar. Sudah dapat dipastikan, bahwa gayus juga merupakan produk dari sebuah kebersamaan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar